InilahIndonesia.com, Jakarta- PT Pertamina (Persero), sebagai tulang punggung energi nasional, kembali menjadi buah bibir. Bukan karena lonjakan produksi migas atau ekspansi pasar internasional, tetapi karena kabut dugaan korupsi yang tak kunjung sirna dari tubuh perusahaan milik negara tersebut.
Dalam sebuah pernyataan yang mengejutkan, Ketua Umum Lembaga Pemberantasan Korupsi dan Penegakan Keadilan (L-PK2), Ardi Kulle, S.Sos., M.H.,saat Media meminta tanggapan lewat Whatsapp menyebutkan Pertamina sebagai “jantung energi nasional sekaligus sarang korupsi.”
“Pertamina bukan sekadar BUMN biasa—ia adalah urat nadi ekonomi dan energi bangsa. Tapi saat dibiarkan jadi arena bancakan elite, rakyatlah yang akan memikul beban, baik lewat harga energi yang melonjak maupun tekanan fiskal negara,” tegas Ardi kepada InilahIndonesia, Minggu (8/6/2025).
Salah satu fokus utama L-PK2 adalah proyek Kilang Tuban di Jawa Timur. Proyek yang semestinya menjadi kebanggaan nasional itu justru menjadi contoh nyata penyimpangan. Dari manipulasi tender, mark-up anggaran, hingga penunjukan mitra yang dinilai tidak transparan—semuanya disebut berujung pada potensi kerugian negara dalam skala besar.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkuat tudingan tersebut. Dalam audit resminya, BPK menyatakan terdapat potensi kerugian senilai US$515,211 juta atau sekitar Rp8,38 triliun dari proyek Grass Root Refinery (GRR) Tuban. Angka yang bukan hanya mencengangkan, tetapi juga menyiratkan adanya kegagalan pengawasan sistemik di tubuh Pertamina.
Menurut Ardi, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah menggurita dalam berbagai lini bisnis dan manajemen Pertamina. Dari pengadaan logistik migas, proyek eksplorasi, hingga perekrutan direksi dan komisaris yang sarat kepentingan politik.
“Penempatan jabatan kunci di Pertamina terlalu sering didasarkan pada loyalitas politik, bukan kapabilitas profesional. Ini menjadi akar dari banyak penyimpangan yang terjadi,” ujarnya.
Tak hanya proyek baru, sejumlah kasus lama yang melibatkan anak usaha Pertamina dan manipulasi data impor BBM juga belum dituntaskan. Berkas-berkas mengendap, penyelidikan mandek, dan penyelesaian hukum kerap tidak transparan.
Hal ini menimbulkan kecurigaan publik bahwa kasus-kasus besar di tubuh Pertamina kerap “ditarik ulur” demi kepentingan elite tertentu.
Di sisi lain, manajemen Pertamina menyampaikan komitmen mereka terhadap prinsip tata kelola yang baik (Good Corporate Governance). Dalam berbagai pernyataan resmi, Pertamina mengklaim terus memperbaiki sistem pengawasan dan menyambut baik kerja sama dengan aparat penegak hukum.
Namun, bagi banyak pihak, komitmen saja tak lagi cukup. Publik menuntut pembuktian nyata, terutama mengingat skandal-skandal yang terus berulang dan pola penanganan kasus yang terkesan ditutup-tutupi.
“Kami menuntut aksi konkret, bukan sekadar komitmen di atas kertas. Sudah waktunya Pertamina dibersihkan secara total. Energi nasional tak boleh terus disandera oleh elite-elite korup,” tegas Ardi.
Masalah korupsi di Pertamina bukan hanya persoalan etika atau kerugian uang negara. Ini adalah ancaman langsung terhadap ketahanan energi nasional. Proyek-proyek yang mangkrak, anggaran yang bocor, dan keputusan strategis yang tidak efisien akan berdampak besar terhadap harga BBM, pasokan energi, dan stabilitas ekonomi nasional.
Dr. Yudi Mahendra, pengamat BUMN dan energi dari Universitas Indonesia, mengamini kekhawatiran tersebut.
“Selama intervensi politik mendominasi dan pengawasan internal serta eksternal tidak diberi taji, maka Pertamina akan tetap menjadi ladang subur korupsi yang terstruktur dan sistemik,” ungkapnya.
Menurut Yudi, Pertamina kini berada di titik balik: menjadi simbol kedaulatan energi atau terpuruk sebagai alat kekuasaan dan sumber rente elite.
Desakan untuk Reformasi Total ,
Tekanan publik terhadap pemerintah dan aparat hukum terus meningkat.
L-PK2 dan lembaga antikorupsi lainnya , organisasi masyarakat sipil, akademisi, hingga tokoh nasional mendorong dilakukannya:
1.Investigasi menyeluruh terhadap proyek-proyek bermasalah
2.Audit independen dengan akses penuh terhadap dokumen keuangan dan pengadaan
3.Pembentukan tim bersih-bersih lintas kementerian dan lembaga
4.Pembenahan sistem rekrutmen, pengawasan internal, dan transparansi laporan
Isu ini bukan lagi sekadar soal Pertamina, melainkan soal masa depan pengelolaan sumber daya nasional.
Pertanyaannya kini sederhana namun mendalam:
Apakah negara serius membersihkan ladang energi ini dari kerak-kerak kepentingan yang sudah membatu?
Ataukah Pertamina akan terus menjadi contoh buruk dari BUMN strategis yang dikorbankan demi kuasa dan uang?
Rakyat Indonesia menunggu jawabannya. Dan waktu terus berjalan.
Pewarta : Qalam/ Tim Med