Lonjakan PBB-P2 di Jeneponto Picu Polemik, LSM Ingatkan Ancaman Konflik Sosial

InilahIndonesia.com, Jeneponto – Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, memicu gelombang polemik. Sejumlah warga menjerit lantaran tagihan melonjak hingga 250 persen lebih, sementara pemerintah daerah bersikukuh bahwa kenaikan hanya 64 persen sesuai Peraturan Daerah terbaru.

Perbedaan data ini menimbulkan pertanyaan serius: benarkah pemerintah transparan soal kebijakan fiskal yang langsung menyentuh dapur masyarakat kecil ?

Keluhan publik mulai ramai di media sosial. Seorang warga, Bambang Tawang, membeberkan bukti tagihan di grup Facebook Duara Turatea II.
“Alhamdulillah pembayaran PBB kami, tahun 2024 Rp81.195, tahun 2025 Rp303.585,” tulisnya. Itu artinya kenaikan mencapai 274 persen.

Bacaan Lainnya

Warga lain, yang enggan disebut namanya, mengaku kaget karena pajaknya melonjak drastis.
“Saya biasa bayar Rp10 ribu, sekarang Rp70 ribu,” keluhnya.

Namun, Kepala Bapenda Jeneponto, Saripuddin Lagu, menepis angka fantastis itu. Ia menyebut tarif resmi naik dari 0,1 persen menjadi 0,3 persen atau hanya sekitar 64 persen. Pernyataan ini justru memicu tanda tanya: mengapa di lapangan warga merasakan beban yang jauh lebih tinggi dari klaim pemerintah?

Koordinator L’PK2, Umar Tiro, angkat bicara bahwa meskipun kenaikan PBB sah secara hukum, aspek keadilan jelas diabaikan.
“Konstitusi memang tidak menetapkan angka, tapi menekankan asas keadilan. Kalau kenaikan pajak jauh melampaui kemampuan rakyat, semangat keadilan sosial jelas tercederai,” tegasnya.

Ia mengingatkan Pemkab Jeneponto agar bercermin dari daerah lain. Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pernah mengalami gejolak serupa setelah menaikkan PBB-P2 hingga 250 persen. Ribuan warga turun ke jalan dan akhirnya kebijakan itu dibatalkan.

Sebaliknya, DKI Jakarta justru memberi insentif, bahkan membebaskan PBB untuk rumah sederhana dengan NJOP hingga Rp2 miliar. Kabupaten Purwakarta memilih tarif jauh lebih rendah, hanya 0,1–0,2 persen. “Daerah punya banyak opsi selain sekadar menaikkan pajak,” tegas Umar.

L-PK2 menilai, jika Pemkab Jeneponto tidak membuka ruang dialog, kebijakan ini berpotensi memicu keresahan bahkan konflik sosial. Lonjakan pajak di tengah ekonomi rakyat yang masih sulit sama saja menyalakan api di tengah tumpukan jerami.

Umar juga mengingatkan jalur hukum terbuka lebar bagi masyarakat. “Jika ada warga yang merasa dirugikan, bisa menggugat Perda ke Mahkamah Agung atau bahkan menguji undang-undang ke Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Polemik PBB-P2 di Jeneponto memperlihatkan persoalan klasik: pemerintah terlalu mudah mengandalkan penaikan tarif pajak tanpa mengukur daya tahan ekonomi rakyat. Jika dibiarkan, situasi ini bukan hanya menciptakan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, tetapi juga berpotensi memicu instabilitas sosial di tingkat akar rumput.

Kini publik menunggu apakah Pemkab Jeneponto berani membuka ruang dialog dengan masyarakat, atau justru tetap memaksakan kebijakan yang kian dipersepsi tidak adil.

 

Pewarta : SY/ Tim Med

Pos terkait