SUMATRA DAN LUKA YANG DITOREHKAN OLEH KESERAKAHAN

SUMATRA DAN LUKA YANG DITOREHKAN OLEH KESERAKAHAN

Oleh: Arfiudin A, S.Hut

Sumatra, InilahIndonesia.com-
Bencana ekologis yang terus berulang di Sumatra kini menjadi alarm keras bagi bangsa ini.
Ia bukan lagi fenomena musiman yang muncul saat hujan atau kemarau tiba, melainkan cermin dari rusaknya hubungan manusia dengan hutan, hubungan yang selama ini dijaga oleh alam, namun dirusak oleh kerakusan manusia yang tak mengenal batas.

Bacaan Lainnya

Sumatra, yang dulu dikenal sebagai salah satu paru-paru Nusantara, kini menghadapi degradasi ekologis yang kian mengkhawatirkan.
Pembalakan liar, tumpang tindih perizinan, ekspansi lahan tanpa kendali, hingga kebakaran hutan dan gambut yang berulang setiap tahun menjadi bukti nyata lemahnya tata kelola lingkungan.

Tragisnya, masyarakat kecil yang hidup di hilir justru menjadi korban utama dari keputusan yang tidak berpihak pada keberlanjutan.
Setiap musim hujan, tanah gundul tanpa akar penyangga tak lagi mampu menahan debit air.

Longsor, banjir, dan hilangnya sumber penghidupan terjadi tanpa aba-aba. Sebaliknya, saat kemarau tiba, gambut yang mengering berubah menjadi bara yang menyulut kabut asap, bahkan hingga menyebrang ke negara tetangga. Semua itu bukan peristiwa alam biasa, tetapi konsekuensi dari kebijakan yang mengabaikan keseimbangan ekologis.

Di balik itu semua, persoalan terbesar adalah lemahnya tata kelola hutan. Undang-undang dan aturan yang ada sering kali tidak memiliki daya paksa di lapangan. Pengawasan minim, sementara perilaku koruptif dalam sektor perizinan membuat para perusak lingkungan seolah kebal hukum. Selama hutan hanya dilihat sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai sistem penopang kehidupan, maka bencana ekologis akan terus menghantui Sumatra.

Padahal, hutan adalah benteng kehidupan. Ia bukan hanya kumpulan pepohonan, tetapi ekosistem kompleks yang mengatur iklim, menjaga tanah, menyimpan air, melindungi keanekaragaman hayati, dan menjadi ruang hidup masyarakat adat. Merusaknya berarti meruntuhkan pondasi peradaban itu sendiri.

Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memulihkan fungsi ekologis hutan. Perbaikan tata perizinan, penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu, restorasi gambut dan kawasan kritis, serta pelibatan masyarakat lokal harus menjadi prioritas.

Di saat yang sama, dunia usaha harus bertransformasi dari paradigma eksploitasi menuju praktik produksi yang berkelanjutan.
Masyarakat pun memegang peran penting.

Pengawasan publik atas proses perizinan, penolakan terhadap praktik ilegal, hingga penanaman kesadaran ekologis kepada generasi muda adalah bagian dari upaya bersama menyelamatkan lingkungan.

Kita harus memahami bahwa hutan bukan warisan dari nenek moyang, melainkan titipan yang harus dijaga untuk anak cucu.

Bencana di Sumatra sesungguhnya adalah pesan yang sangat jelas: alam sedang memperingatkan kita. Jika keserakahan tidak dihentikan sekarang, maka generasi mendatang akan menghadapi bencana yang lebih besar dan lebih sulit dipulihkan.

Ini bukan sekadar isu lingkungan ini menyangkut keberlangsungan hidup manusia.

Sumatra mungkin terluka, tetapi luka itu masih bisa disembuhkan. Dengan keberanian politik, ketegasan hukum, dan kesadaran kolektif, kita masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan masa depan hutan dan masa depan bangsa ini.

 

Pos terkait