INILAHINDONESIA.COM ,MAKASSAR SULSEL – DUNIA Jurnalistik Memang Perlu Dibenahi, bukan hanya masyarakat pers, media ataupun wartawan, yang menghargai peraturan di atas, tetapi juga masyarakat umum, publik, karena aturan tersebut menjadi tonggak, landasan untuk berinteraksi dengan pers. Minggu,8/1/2023
Ada beberapa peraturan Gubernur, seperti di Sumatera Barat, Riau, Bangka Belitung, ada beberapa peraturan Bupati, Walikota, yang menjadikan Peraturan Dewan Pers (DP) sebagai landasan kemitraan dengan media massa untuk menyelesaikan sengketa pers.
Masyakarat yang mengadukan pemberitaan yang dianggap merugikan pihaknya pun, ikut taat pada Peraturan Dewan Pers No. 03/Peraturan-DP/VII/2017, dengan menjalankan prosedur yang ada. Sehingga nanti pengaduannya diperiksa dan dicarikan solusinya oleh DP.
Mereka tidak menggeruduk atau membakar kantor perusahaan pers, karena sudah ada aturan tertulis, yang membuat penyelesaian dapat dilakukan secara elegan.
Nah, kalau pemerintah, parlemen, masyarakat pers, publik, menaati peraturan Dewan Pers. Mengapa malah anggota DP membangkang, dan melanggar Peraturan produk hukumnya sendiri?
Yang saya maksud di sini adalah Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IX/2016 tentang Statuta Dewan Pers.
Pasal 18 Statuta Dewan Pers yang ditetapkan pada tanggal 8 September 2016 dan ditandatangani Ketua Dewan Pers, Yoseph Adi Prasetyo, sebagaimana berbunyi: Apabila Ketua Dewan Pers berhenti sebagai anggota Dewan Pers, maka Wakil Ketua Dewan Pers otomatis menjadi Ketua Dewan Pers baru. Untuk mengisi posisi Wakil Ketua Dewan Pers diadakan pemilihan Wakil Ketua Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Statuta Dewan Pers ini.
Sampai hari ini, sejak wafatnya Ketua Dewan Pers, Prof Azyumardi Azra pada 18 September 2022, tidak ada Ketua Dewan Pers, malah yang ada Pelaksana Tugas (PLT) yang tidak jelas dari mana asal muasalnya. Padahal seharusnya sudah jelas aturannya dan harus ditaati para anggota DP. Otomatis artinya dengan sendirinya, tidak perlu lagi proses apapun, langsung ditetapkan.
Yang terdengar malah, para Anggota DP memutuskan untuk mengubah aturan yang masih berlaku, dan menyusun ulang pasal sesuai selera.
Para anggota DP periode 2022-2025 harus sadar bahwa langkah mereka mengubah statuta sudaha melabrak aturan. Mereka dapat dianggap membangkang, karena tidak lagi menjalankan statuta yang ada, maka eksistensi mereka sendiri perlu patut dipertanyakan, sebab sejak serah terima jabatan dengan anggota DP periode 2019-2022, landasan kegiatan dan operasional mereka adalah Statuta Dewan Pers sesuai Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IX/2016. Kalau status mereka tidak lagi jelas, lalu apa dasarnya mereka membuat Statuta Dewan Pers baru?
Tentu tidak sah. Dan produk apapun nanti yang ditindaklanjuti dari Statuta baru, yang dirancang untuk merombak total tata kelola DP yang sudah dilaksakan dengan baik sejak berdirinya setelah UU No.40/1999 tentang Pers diberlakukan, tidak akan sah. Dicatat, tidak sah.
Pleno Dewan Pers juga harus segera mengisi kekosongan anggota akibat berpulangnya Prof Azyumardi Azra. Statuta DP juga dengan jelas mengatur pengisian keanggotaan baru untuk menggantikan anggota yang berhalangan tetap. Hal itu ada di Pasal 7 Statuta yang berbunyi:
Untuk menggantikan Anggota Dewan Pers yang berhenti, diambil dari nama calon anggota yang berasal dari unsur yang sama dari urutan berikutnya sesuai ketetapan Badan Pekerja (BP) pada periode tersebut.
Apabila tidak ada lagi anggota pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) penggantinya diambil dari unsur yang sama berdasarkan keputusan Rapat Pleno DP. Calon anggota pengganti diajukan ke Presiden Republik Indonesia untuk ditetapkan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia sebagai Anggota Dewan Pers yang baru.
Maka mereka yang berhak menjadi anggota baru adalah urutan berikutnya, yakni 4, 5, dan 6, dari calon anggota yang waktu itu tidak terpilih karena kalah suara. Tidak boleh mendadak ada orang baru di luar tiga orang yang sudah ditetapkan oleh Badan Pekerja Pemilihan Anggota (BPPA) Dewan Pers untuk menjadi Ketua Dewan Pers.
Sekali lagi sebagai orang pernah mengikuti Workshop revisi Kode Etik Jurnalustik (KEJ) di Kantor Dewan Pers Jakarta, saya sungguh berharap, agar Anggota Dewan Pers 2022-2025 supaya taat produk hukum mereka sendiri. Sejarah akan mencatat adanya pembangkangan yang dilakukan anggota DP, apalagi karena masukan dari konstituen yang tidak ada urusan dengan statuta, karena itu sudah berlaku.
Apabila konstituen Dewan Pers memiliki ambisi untuk mengubah Statuta Dewan Pers, silakan meminta ke Anggota Dewan Pers yang duduk sebagai wakil mereka, bukan mengintervensi langsung ke sidang pleno.
Wacana penambahan anggota Dewan Pers, yang jumlahnya kini sudah lebih banyak dari komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) KPI dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP), sah saja. Begitu pula keinginan untuk memasukkan tokoh masyarakat yang dianggap bonafide, silakan saja. Tetapi jalankan dulu aturan yang masih berlaku, agar tidak ada cacat hukum ke depan.
Oleh: La Ode Hazirun
Penulis adalah Ketum Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)