Oleh Ferry Tas, S.H., M.Hum., M.Si.
(Praktisi & Pengamat Hukum Jakarta / Koordinator I Jamdatun Kejagung RI)
InilahIndonesia.com, Jakarta- Momentum Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia yang beriringan dengan Hari Lahir Kejaksaan Agung RI pada 2 September mendatang, menghadirkan ruang refleksi tentang peran Kejaksaan dalam pembangunan hukum nasional. Perayaan ini bukan sekadar seremoni, melainkan penegasan kembali komitmen institusi kejaksaan untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga marwah hukum dan kepentingan bangsa.
Bagi saya, yang dipercaya menjadi Ketua Panitia Rapat Evaluasi Capaian Kinerja Semester I Tahun 2025 Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (DATUN), dinamika dalam forum rakernis memperlihatkan betapa besarnya harapan publik terhadap Kejaksaan. Ada konsensus kuat bahwa Jaksa Pengacara Negara (JPN) harus tampil sebagai Advocaat Generaal & Solicitor Generaal—peran besar yang tidak sekadar menyelesaikan sengketa hukum, tetapi mengawal kebijakan strategis nasional dan kepentingan publik.
JPN Sebagai Garda Depan Hukum Nasional
Visi ini sejalan dengan arah pembangunan hukum menuju Indonesia Emas 2045, sebagaimana tertuang dalam RPJPN 2025–2045 dan ditekankan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan. Presiden menegaskan bahwa penegakan hukum tidak boleh berhenti pada penghukuman semata, melainkan harus menjadi instrumen penyelamatan rakyat dan perekonomian bangsa.
Di titik inilah peran JPN menjadi krusial. Dengan dasar hukum UU No. 11 Tahun 2021, JPN diberi mandat bukan hanya mewakili negara di pengadilan, tetapi juga memberi pertimbangan hukum atas kebijakan publik yang menyangkut kepentingan nasional. Fungsi ini menegaskan JPN sebagai advokat negara, yang menjembatani kepentingan hukum dengan arah kebijakan pembangunan.
Tantangan dan Agenda Reformasi
Namun, jalan ke depan tidaklah tanpa hambatan. Ada dua tantangan utama yang perlu diantisipasi.
Pertama, keterbatasan kewenangan. Saat ini, Jaksa Agung hanya dapat memberikan pertimbangan teknis hukum dalam perkara pidana. Padahal, dinamika kontemporer menuntut agar kewenangan tersebut diperluas ke semua lingkungan peradilan, termasuk perdata, TUN, agama, dan militer. Reformasi legislasi menjadi agenda mendesak agar peran JPN sebagai Advocaat Generaal benar-benar optimal.
Kedua, penguatan sumber daya manusia. Sudah saatnya ada jalur rekrutmen khusus untuk Jaksa Pengacara Negara. Pemisahan sejak awal antara jaksa penuntut umum dan jaksa pengacara negara akan melahirkan profesionalisme yang lebih fokus. Dengan begitu, JPN dapat benar-benar menjadi spesialis hukum negara, bukan sekadar pelengkap fungsi kejaksaan.
Menyongsong Indonesia Emas 2045
Keteladanan pahlawan bangsa yang rela berkorban demi kemerdekaan menjadi kompas moral bagi Kejaksaan. Dalam falsafah Minangkabau disebut, koq duduak marajuk kain, jikok tagak maninjau jarak—artinya ketika duduk harus mampu merajut, dan ketika berdiri harus mampu meninjau arah. Filosofi ini mengajarkan agar setiap kebijakan hukum dibangun dengan visi jauh ke depan, bukan sekadar reaktif pada masalah hari ini.
Jaksa Agung Prof. ST Burhanuddin pun menegaskan, kemerdekaan sejati harus diiringi penegakan hukum yang berkeadilan. Hukum tidak boleh menjadi penghambat, melainkan katalis pembangunan. Pernyataan itu selaras dengan strategi Jamdatun Kejagung yang dipimpin Prof. Narendra Jatna, yang mendorong transformasi kelembagaan Kejaksaan menuju single prosecution system dan penguatan fungsi advocaat generaal.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa masa depan hukum Indonesia akan sangat ditentukan oleh keberanian melakukan transformasi kelembagaan. Jaksa Pengacara Negara, dalam konsep Advocaat Generaal, adalah jawaban atas kebutuhan negara hukum modern yang berpihak pada rakyat dan kepentingan bangsa.
Menatap Indonesia Emas 2045, saya percaya Jaksa Pengacara Negara akan menjadi benteng hukum sekaligus mitra strategis pembangunan nasional. Mereka bukan hanya aparat penegak hukum, tetapi juga penjaga integritas bangsa dalam menghadapi kompleksitas global.
Pewarta: Ardi Kulle/ Tim Med